Hujan mericis,pagi ini.
Garis garisnya patah di ujung tanah.
Membasahi tandus menumbuhkan daun
Mentari malu lalu sembunyi,di
balik gugusan awan.
Maka biarkan hujan menyuarakan rinainya.
Menyejukkan nurani.
Membasuh sukma,dan menumbuhkan murni cinta.
Hingga aku terdampar di atas batu.
Menyelami angin
pagi,menemukan damai hati.
Dan biarkan aku berbaring di sela sela
bunga bunga.
Merenangi harum kudusnya,membasuh jiwa dengan kasihnya.
Menyepuh mata dengan indah langitnya.
Melepas semua,letihnya
raga.
Ah kupinta bunya yang sederhana.
Kelak kan kusematkan di
hati yang terkasih.
Bukan bunga yang terindah,
sebab yang
terindah milik sang kumbang raja.
Sedang aku hanya peminta,yang
kadang amat durhaka.
Yang tak pernah puas dengan 1 atau 2
bunga,bahkan segenggam permata.
Saat taman terlelap,prajurit
itu tetap terjaga.
Menjaga bunga bunga dengan busur cahaya.
Ia
meliuk liuk merenangi lautan malam.
Sesekali ia berkedip,sembari
melempar sinarnya ke arah entah.
Saat taman terlelap,prajurit itu tetap terjaga.
Menjaga bunga bunga
dengan busur cahaya.
Ia meliuk liuk merenangi lautan malam.
Sesekali ia berkedip,sembari melempar sinarnya ke arah entah.
Kunang,di padang ilalang.
Singgahlah di pundakku,menggempur lelahku.
Dan biarkan sinarmu,menumbuhkan sayap sayap jiwaku.
Menembus
dadaku,menerabas semua debu di mata hatiku.
Ah..biarkan diri,lelap
dalam pelukan cahanya.
Mengistirahatkan letihnya jiwa,melepas semua
kebekuan.
No comments:
Post a Comment